Hak Cipta dalam Kerangka
Persaingan Pasar
Keberadaan hak cipta sebagai hak
ekslusif bagi para penciptanya harus dapat dihormati dan dihargai. Penemuan
baru oleh peneliti atau pencipta bukan pekerjaan dalam waktu singkat, ia
membutuhkan waktu lama dan biaya besar sehingga wajar hasil cipta tersebut
harus dilindungi. Hasil ciptaan tersebut bahkan dapat digunakan untuk tujuan
komersial dalam kegiatan bisnis yang amat menguntungkan.
John Naisbitt dan Patricia
Aburdene telah meramalkan bahwa suatu saat nanti dunia yang dihuni manusia ini
akan berubah menjadi suatu perkampungan global (global village) dengan pola
satu sistem perekonomian atau single economy system berdasarkan
permintaan/mekanisme pasar dan persaingan bebas. Mereka yang mampu survive
adalah orang atau para pengusaha yang dapat menghasilkan “produk” dengan
kualitas tinggi dan harga bersaing. Artinya, manusia yang berkualitas dalam era
ini adalah mereka yang dianggap memiliki produk dengan “nilai jual” yang dapat
diandalkan pada persaingan global, baik di pasar nasional, regional maupun
internasional dengan berlakunya pasar bebas (free market) dalam perdagangan
internasional.
Berkaitan dengan era pasar bebas
dengan perdagangan barang dan atau jasa, bermula pada 15 April 1994 dengan
tercapainya kesepakatan internasional di Maroko melalui Agreement on
Establishing the World Trade Organization (WTO) yang dikenal sebagai Marrakesh
Agreement. Adanya kesepakatan yang akhirnya melahirkan organisasi perdagangan
dunia (WTO) ini, maka produk dari setiap orang atau negara diatur melalui
mekanisme pasar yang mengutamakan kualitas barang dan atau jasa. Produk
tersebut biasanya dilindungi hukum sebagai hasil rasa, karsa dan cipta manusia
yang tidak bisa begitu saja untuk dilanggar. Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional ikut menandatangani kesepakatan ter-sebut melalui UU
No. 7 Tahun 1994 (LN Tahun 1994 No. 95 TLN No. 3564) tanggal 2 Nopember 1994
yang berlaku sebagai ius constitutum dalam konstelasi hukum nasional yang
mempunyai dampak luas pada bidang lain.
Konsekuensinya, semua kesepakatan
itu harus ditaati dan diterapkan dengan konsisten. Salah satu agenda penting
dari WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights Including Trade in Counterfeit Goods. Kesepakatan ini akhirnya
melahirkan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) yang
bertujuan untuk meningkatkan perlindungan di bidang Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) dari pembajakan atas suatu karya kreatif dan inovatif seseorang/kelompok
orang, baik di bidang sastra, seni, teknologi dan karya ilmiah. Suatu hal yang
cukup kompleks dan perlu dilakukan upaya adaptasi (penyesuai-an) terus menerus
untuk dapat mengikuti dinamika perkembangan dengan perangkat hukum yang
mengatur masalah baru tersebut karena sebelumnya justru tidak diatur dalam
ketentuan hukum nasional. Kevakuman ini harus ditutupi dengan adanya aturan
undang-undang sebagai kepastian hukum untuk mengikuti perkembangan iptek dan
masyarakat internasional.
Salah satu bidang HKI adalah hak
cipta (copy rights) yang merupakan hak ekslusif (khusus) bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumum-kan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 LTU No. 19 Tahun 2002). Ciptaan
merupakan hasil setiap karya pencipta dalam bentuk khas apapun juga dalam
lapangan ilmu, seni dan sastra yang menguntungkan dari segi materil, moril dan
reputasi seseorang atau kelompok orang yang menghasil-kan ciptaan berdasarkan
kerja keras melalui pengamatan, kajian dan penelitian secara terus menerus.
Sudah sewajarnya, hasil ciptaan orang lain harus dapat dilindungi hukum dari
setiap bentuk pelanggaran hak cipta. la sebenarnya merupakan suatu perbuatan
tidak terpuji dan tercela bahkan tidak “bermoral” oleh orang-orang tidak
bertanggungjawab yang melakukannya, karena adanya”the morality that makes law
possible.”
Pada kondisi ini, sudah pasti
tidak dapat dihindarkan adanya kecen-derungan sebagian orang/kelompok orang
yang menginginkan dengan berbagai cara untuk meneguk keuntungan finansial
secara cepat tanpa usaha keras, mengeluarkan modal dan kejujuran dengan
membajak hasil ciptaan orang lain ataupun mendompleng reputasi ciptaan pihak
lain sehingga amat merugikan bagi para pencipta pertama. Tindakan ini sudah
tentu tidak dapat dibenarkan, karena melanggar hukum sebab bukan hanya para
pencipta yang sah saja merasa dirugikan, akan tetapi juga masyarakat luas
mengalami kerugian besar karena memperoleh barang dan atau jasa tidak sesuai
kualitas yang diharapkan. Keadaan ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadi
degradasi moral dan etika dalam kehidupan masyarakat yang tidak mau menghargai
kreasi intelektual pihak lain yang telah bersusah payah melahirkan ciptaannya.
Dalam pergaulan masyarakat
internasional, negara-negara yang memproteksi atau membiarkan pelanggaran hak
cipta tanpa adanya penindakan hukum dapat dimasukkan dalam priority watch list,
karena tidak memberikan perlindungan HKI secara memadai bagi negara atau
pemilik/pemegang izin ciptaan tersebut. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa
pengucilan dalam pergaulan masyarakat internasional atau sanksi ekonomi dari
produk negara itu pada transaksi bisnis internasional.
UU No. 19 Tahun 2002 yang berlaku
efektif pada tanggal 23 Juli 2003 sebagai pengganti UU No. 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987 dan UU No. 12
Tahun 1997 diharapkan sekali menjadi a new legal framework atau perangkat hukum
baru untuk mengantisipasi merebaknya pelanggaran hak cipta di tanah air oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan secara “bypass” atau “potong kompas” (cepat) dengan cara tercela
melanggar hukum atas hak-hak orang lain. Keadaan demikian tentu akan
menimbulkan masalah terhadap upaya perlindungan hukum atas pelanggaran hak
cipta mengingat tidak semua orang dapat memahami-nya dengan baik.
Perkembangan dan Pembatasan Hak
Cipta
Keberadaan copyright atau hak cipta
semenjak tahun 1886 telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak
ekslusif para pencipta. Sebagai salah satu bentuk karya intelektual yang
dilindungi dalam HKI, hak cipta memiliki peran amat penting dalam rangka
mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil karya ilmu
pengetahuan, seni dan sastra serta teknologi untuk mempercepat upaya
pertumbuhan pembangunan dan kecerdasan kehidupan suatu bangsa. Keadaan ini amat
disadari oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25
Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004 pada kegiatan
pembangunan pendidikan, khususnya program penelitian, peningkatan kapasitas dan
pengembangan kemampuan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Suatu ciptaan dapat memberi nilai
ekonomis bagi para pencipta dan pemegang izin melalui kegiatan ekonomi, yakni
penjualannya ke pasar. Upaya menghasilkan suatu ciptaan membutuhkan proses
waktu, nspirasi, pemikiran dana dan kerja keras sehingga wajar hasil karya para
pencipta itu harus dilindungi dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta yang
sangat merugikan para pencipta. Sebaliknya, dalam batas-batas tertentu pada
ketentuan undang-undang hak cipta, hasil ciptaan seseorang dapat dibenarkan
diambil orang lain dengan izin atau tanpa izin pemilik yang bersangkutan tanpa
perlu takut dikategorikan sebagai pelanggaran hukum terhadap hak cipta.
Standar perlindungan atas HAKI
yang diterapkan dalam perjanjian adalah standar perlindungan minimal yang telah
tertuang dalam perjanjian yang sudah ada sebelumnya yang dikembangkan pada
perjanjian dan konvensi dalam naungan World Intellectual Property Organization
(WIP0). Perlindungan terhadap hak cipta adalah berdasarkan pada kesepakatan The
Beme Convention for the Protection of Literary and Artistic Works tanggal 9
September 1886 di Bern, Swiss.
Pemerintah Belanda yang menjajah
Indonesia pada tanggal 1 November 1912 memberlakukan keikutsertaannya pada
Konvensi Bern melalui asas konkordansi di Hindia Belanda dengan mengeluarkan
suatu Auterswet 1912 berdasarkan UU Hak Cipta Belanda pada tanggal 29 Juni 1911
(Stb Belanda No. 197). Konvensi Bern 1886 terus direvisi dan diamandir oleh
negara-negara anggota WIP0. Terakhir direvisi di Paris pada tahun 1971 dan
1989.
Keikutsertaan suatu negara
sebagai anggota Konvensi Bern akan menimbulkan kewajiban negara peserta untuk
menerapkan dalam perundang-undangan nasional di bidang hak cipta. Lima prinsip
dasar dianut Konvensi Bern adalah sebagai berikut :
Pertama, prinsip perlakuan
nasional (national treatment principle), yakni ciptaan yang berasal dari salah
satu peserta perjanjian atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan pada
salah satu negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan hukum hak
cipta yang sama sebagaimana diperoleh ciptaan peserta warga negara itu sendiri.
Kedua, prinsip perlindungan hukum
langsung/otomatis (automatic protection principle). Pemberian perlindungan
hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apa pun (must
not be conditional upon compliance with any formality).
Ketiga, prinsip perlindungan
independen (independent of protection principle), yakni suatu perlindungan
hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum
negara asal pencipta.
Keempat, prinsip minimal jangka
waktu hak cipta (minimum duration of copyright). Perlindungan diberikan minimal
selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
Kelima, prinsip hak-hak moral
(moral rights principle). Hak yang tergolong sebagai hak moral dimiliki
pencipta seperti keberatan mengubah, menambah atau mengurangi keaslian ciptaan
yang perlu mendapat pengaturan perlindungan-nya dalam hukum nasional negara
peserta Konvensi Bern.
Pemerintah Indonesia menjadi
anggota WTO sejak tahun 1994. Keikutsertaan ini juga membawa konsekuensi hukum
harus memberla-kukan semua hasil dan prinsip dasar dari Konvensi Bern.
Hal, ini ditindak-lanjuti dengan
mensahkannya melalui pembentukan Keppres RI No. 18 Tahun 1997 pada tanggal 7
Mei 1997 dan segera dinotifikasikan ke WIPO berdasarkan Keppres RI No. 19 Tahun
1997 tanggal 5 Juni 1997. Berlakunya hasil kesepakatan The Berne Convention di
Indonesia, maka pemerintah harus mampu untuk melindungi ciptaan dari seluruh
negara anggota peserta dan penandatangan The Berne Convention tersebut. Selain itu,
Indonesia harus pula melindungi ciptaan bangsa asing yang ada di tanah air
melalui kesepakatan pada perjanjian bilateral yang telah diratifikasi.
Adanya perjanjian bilateral
tersebut akan memberi perlindungan hukum dan rasa aman hak cipta secara timbal
balik antara ciptaan bangsa kita dengan bangsa lain yang sama-sama bergabung
dalam WTO, terutama dengan berlakunya pasar bebas.
Pada persetujuan TREPs, khususnya
Pasal 7 menentukan konsep dasar sasaran perlindungan dan penegakan hukum (law
enforcement) terhadap HKI yang ditujukan untuk memacu penemuan baru di bidang
teknologi dan untuk memperlancar alih serta penyebaran teknologi dengan tetap
memperhatikan kepentingan produsen dan pengguna pengetahuan tentang teknologi
dan dilakukan dengan cara yang menunjang kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Perlindungan itu didasarkan pada masalah
pokok ruang lingkup berlakunya hak cipta dengan dua prinsip dasar, yakni
utilitarian-non utilitarian or junctional-non functional dichotomy and idea
expression dichotomy. Artinya, adanya dikotomi pada kegunaan-ketidakgunaan atau
berfungsi-tidak berfungsi dan munculnya gagasan dari ciptaan tersebut.
Penjabaran dari kesepakatan
internasional mengenai hak cipta yang diratifikasi oleh Indonesia terdapat pada
ketentuan UU No. 19 Tahun 2002. Pada Pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002
menentukan ciptaan yang dapat dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, sastra dan seni yang meliputi hasil karya :
(a) buku, program komputer, pamplet,
perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain,
(b) ceramah, kuliah, pidato dan
ciptaan lain yang sejenis dengan itu,
(c) alat peraga yang dibuat untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
(d) lagu atau musik dengan atau
tanpa teks,
(e) drama atau drama musikal,
tari, koreografl, pewayangan, dan pantomim,
(f) seni rupa dalam segala bentuk
seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung,
kolase dan seni terapan
(g) arsitektur,
(h) peta,
(i) seni batik,
(j) fotografi,
(k) sinematografi, dan
(1) terjemahan, tafsir, saduran,
bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Sebaliknya, pada isi Pasal 13
menentukan pula dianggap tidak ada suatu hak cipta atas :
(a) hasil rapat terbuka lembaga-lembaga
negara,
(b) peraturan perundang-undangan,
(c) pidato kenegaraaan dan Pidato pejabat
Pemerintah,
(d) putusan pengadilan atau penetapan hakim,
atau
(e) keputusan badan arbitrase atau keputusan
badan-badan sejenis lainnya.
Setiap ciptaan seseorang,
kelompok orang ataupun korporasi (badan hukum) dilindungi oleh undang-undang
karena pada ciptaan itu otomatis melekat hak cipta yang seyogianya harus dapat
dihormati dan dipatuhi oleh orang lain. Perlindungan hukum itu dimaksudkan agar
hak pencipta secara ekonomis dapat dinikmati dengan tenang dan aman mengingat
cukup lamanya diatur undang-undang waktu perlindungan tersebut. Masa berlaku
perlindungan hak cipta secara umum adalah selain hidup pencipta dan terus
berlangsung hingga 50 tahun setelah penciptanya meninggal dunia yang dimulai
sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan,
diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah penciptanya meninggal dunia
(vide Pasal 34).
Setiap pencipta atau pemegang
izin hak cipta bebas untuk dapat menggunakan hak ciptanya, akan tetapi
undang-undang menentukan pula adanya pembatasan terhadap penggunaan hak cipta
itu. Pembatasan tersebut dimaksudkan supaya para pencipta dalam kegiatan
kreatif dan inovatifnya tidak melanggar norma-nonna atau asas kepatutan yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terutama di negara hukum
seperti Indonesia mengingat hasil ciptaan umumnya akan dijual ke pasar (dalam
dan luar negeri) untuk memperoleh keuntungan ekonomis bagi para pencipta atau
pemegang izin guna dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Oleh karena sudah
ditentukan pembatasan oleh ketentuan undang-undang, maka kebebasan penggunaan
hak cipta tidak boleh melanggar pembatasan tersebut. Apabila pembatasan
tersebut dilanggar oleh pencipta dan pemegang izin hak cipta, maka pencipta
akan memperoleh sanksi hukum.
Adapun pembatasan penggunaan hak
cipta yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dapat dibagi dalam tiga hal:
Pertama, kesusilaan dan
ketertiban umum. Keterbatasan penggunaan hak cipta tidak boleh melanggar pada
kesusilaan dan ketertiban umun. Contoh hak cipta yang melanggar kesusilaan
adalah penggunaan hak untuk mengumumkan atau memper-banyak kalender bergambar
wanita/pria telanjang, kebebasan seks atau pomografi, sedangkan termasuk
melanggar ketertiban umum adalah memperbanyak dan menyebarkan buku yang berisi
ajaran yang membolehkan wanita bersuami lebih dari satu (poliandri).
Kedua, fungsi sosial hak cipta.
Kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh meniadakan/mengurangi fungsi sosial
dari pada hak cipta. Fungsi sosial hak cipta adalah memberi kesempatan kepada
masyarakat luas untuk memanfaatkan ciptaan itu guna kepentingan pendidikan dan
ilmu pengetahuan, bahan pemecahan masalah, pembela-an perkara di pengadilan, bahan
ceramah dengan menyebutkan sumbernya secara lengkap.
Ketiga, pemberian lisensi wajib.
Kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh meniadakan kewenangan dari negara
untuk mewajibkan pencipta/pemegang hak cipta memberikan lisensi (compulsory
licensing) kepada pihak lain untuk menerjemahkan atau memperbanyak hasil
ciptaannya dengan imbalan yang wajar. Pemberian lisensi wajib didasarkan pada
pertimbangan tertentu, yakni bila negara meman-dang perlu atau menilai suatu
ciptaan sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat dan negara, misalnya
untuk tujuan pendidikan, pengajaran, ilmu pengetahuan, penelitian, pertahanan,
keamanan, dan ketertiban masyarakat yang membutuhkan pemakaian ciptaan
tersebut.
Pembatasan penggunaan hak cipta
adalah sebagai upaya keseimbangan hak antara pencipta dengan kepentingan
masyarakat. Artinya, penggunaan hak cipta oleh pencipta diharapkan akan
mewujudkan pula keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Bentuk-bentuk
Pelanggaran Hak Cipta Umumnya pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari
keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pencipta
dan pemegang izin hak cipta. Perbuatan para pelaku jelas melanggar fatsoen
hukum yang menentukan agar setiap orang dapat mematuhi, menghormati dan
menghargai hak-hak orang lain dalam hubungan keperdataan termasuk penemuan baru
sebagai ciptaan orang lain yang diakui sebagai hak milik oleh ketentuan hukum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
warga masyarakat untuk melanggar HKI menurut Parlugutan Lubis antara lain
adalah sebagai berikut :
1) pelanggaran HKI dilakukan
untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keun-tungan yang sebesar-besarnya
dari pelanggaran tersebut;
2) para pelanggar menganggap
bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan
bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para
penegak hukum;
3) ada sebagian warga masyarakat
sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain,
namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum
terhadap HKI;
4) dengan melakukan pelanggaran,
pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada
pemerintah; dan
5) masyarakat tidak memperhatikan
apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi
mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.
Dampak dari kegiatan tindak
pidana hak cipta tersebut telah sedemikian besarnya merugikan terhadap tatanan
kehidupan bangsa di bidang ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang sosial budaya,
misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap
dan pandangan bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan
masyarakat dan tidak lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang (wet
delicten). Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi pada
negara-negara berkembang (developing countries) karena ia dapat memberikan
keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar (pembajak)
dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan pemantauan tindak pidana
hak cipta.
Harus diakui, upaya pencegahan
dan penindakan terhadap pelanggaran hak cipta selama ini belum mampu membuat
jera para pembajak untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena upaya
penanggulangannya tidak optimal.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak
cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan dan
pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apa pun tanpa
izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang atau.
melanggar perjanjian.
Dilarang undang-undang artinya
undang-undang hak cipta tidak memperkenan-kan perbuatan itu dilakukan oleh
orang yang tidak berhak, karena tiga hal, yakni :
(1) merugikan pencipta/pemegang
hak cipta, misalnya mem-foto kopi sebagian atau selurulnya ciptaan orang lain
kemudian dijual/belikan kepada masyarakat luas;
(2) merugikan kepentingan negara, misalnya
mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang
pertahanan dan keamanan atau;
(3) bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact
disc (vcd) pomo.
Pelanggaran hak cipta menurut
ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tanggal 15 Pebruari 1984 dapat
dibedakan dua jenis, yakni :
(1) mengutip sebagian ciptaan
orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah ciptaan sendiri
atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah ciptaan sendiri. Perbuatan ini
disebut plagiat atau penjiplakan (plagiarism) yang dapat terjadi antara lain pada
karya cipta berupa buku, lagu dan notasi lagu, dan
(2) mengambil ciptaan orang lain
untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk
isi, pencipta dan penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy
(pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman
audio/video seperti kaset lagu dan gambar (vcd), karena menyangkut dengan
masalah a commercial scale.
Pembajakan terhadap karya orang
lain seperti buku dan rekaman adalah salah satu bentuk dari tindak pidana hak
cipta yang dilarang dalam undang-undang hak cipta. Pekerjaannya liar,
tersembunyi dan tidak diketahui orang banyak apalagi oleh petugas penegak hukum
dan pajak. Pekerjaan tersembunyi ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari
penangkapan pihak kepolisian. Para pembajak tidak akan mungkin menunaikan
kewajiban hukum untuk membayar pajak kepada negara sebagaimana layaknya warga
negara yang baik. Pembajakan merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan
iptek di bidang grafika dan elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum
(illegal) oleh mereka yang ingin mencari keuntungan dengan jalan cepat dan
mudah.
Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002
menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik
undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok, yakni :
(1) Dengan sengaja dan tanpa hak
mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk
perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan,
memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan
dengan kebijak-sanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara,
kesusilaan dan ketertiban umum;
(2) Dengan sengaja memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil
pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan
buku dan vcd bajakan;
(3) Dengan sengaja dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
Dari ketentuan Pasal 72 tersebut,
ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat diancam dengan sanksi
pidana. Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang
dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang.
Termasuk pelaku utama ini adalah penerbit, pembajak, penjiplak dan pencetak.
Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau
menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau
melanggar larangan undang-undang hak cipta. Termasuk pelaku pembantu ini adalah
penyiar, penyelenggara pameran, penjual dan pengedar yang menyewakan setiap
ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh
undang-undang.
Kedua golongan pelaku pelanggaran
hak cipta di atas, dapat diancam dengan sanksi pidana oleh ketentuan UU No. 19
tahun 2002. Pelanggaran dilakukan dengan sengaja untuk niat meraih keuntungan
sebesar-besanya, baik secara pribadi, kelompok maupun badan usaha yang sangat
merugikan bagi kepentingan para pencipta. Pengaturan Perlindungan Hukum Hak
Cipta
Barang-barang yang diproduksi
palsu dan dijual ke pasar, selain merugikan bagi penerimaan royalti para
pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan kualitas barang
yang dapat dinikmati oleh masyarakat konsumen. Kerugian ini jelas harus
ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta
tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua pihak,
terutama para pencipta/pemegang izin.
Daya kreatif dan inovatif para
pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak cipta terus berlangsung
tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan menindak para pelakunya. Negara
melalui aparat penegak hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung harus
bertanggung jawab dengan adanya peristiwa ini dengan berupaya keras melakukan
penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak cipta. Apabila tidak ada penegakan
hukum yang konsisten terhadap para pelanggar, maka akan sulit terwujudnya suatu
perlindungan hukum terhadap hak cipta yang baik. Masalah ini telah menjadi
tuntutan masyarakat internasional terhadap bangsa dan negara Indonesia yang
dinilai masih rendah untuk menghargai HAKI.
Pertama, ciptaan yang dilindungi
adalah semua ciptaan di bidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni dalam bentuk
apa pun perwujudannya.
Kedua, kecuali jika ditentukan
dengan cara reservasi, pembatasan atau pengecualian yang tergolong sebagai
hak-hak ekslusif seperti :
(a) hak untuk menerjemahkan,
(b) hak mempertun-jukkan di muka
umum ciptaan drama musik dan ciptaan musik,
(c) hak mendeklamasikan di muka
umum suatu ciptaan sastra,
(d) hak penyiaran,
(e) hak membuat reproduksi dengan
cara dan bentuk perwujudan apa pun,
(f) hak menggunakan ciptaannya
sebagai bahan untuk ciptaan, dan
(g)hak membuat aransemen dan
adapsi dari suatu ciptaan.
Selain hak-hak ekslusif di atas,
Konvensi Bern juga mengatur sekumpulan hak yang dinamakan dengan hak-hak moral
(moral rights). Hak moral adalah hak pencipta untuk mengklaim sebagai pencipta
atas suatu hasil ciptaan dan hak pencipta untuk mengajukan keberatan-keberatan
terhadap setiap perbuatan yang bermaksud untuk mengubah, mengurangi atau
menambah keaslian ciptaan, yang akan dapat meragukan kehormatan dan reputasi
pencipta pertama.
Hak moral seorang pencipta menurut
pendapat A. Komen dan D.WS Verkade mengandung empat makna. Pertama, hak untuk
melakukan atau tidak melakukan pengumuman ciptaannya. Kedua, hak untuk
melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya, dan hak
untuk menarik dari peredaran ciptaan yang telah diumumkan kepada publik.
Ketiga, hak untuk tidak
menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain.
Keempat, hak untuk mencantum-kan nama pencipta, hak untuk tidak menyetujui
setiap perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan, dan hak untuk
mengumumkan sebagai pihak pencipta setiap waktu yang diinginkan. Hak ini
mempunyai kedudukan sejajar dengan hak ekonomi yang dapat dimiliki seorang
pencipta atas suatu hasil ciptaannya.
Perlindungan hukum merupakan upaya
yang diatur dalam undang-undang untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta
oleh orang-orang yang tidak berhak. Apabila terjadi pelanggaran, maka
pelang-garan itu harus diproses secara hukum, dan bilamana terbukti melakukan
pelanggaran akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang hak
cipta. UU No. 19 Tahun 2002 mengatur jenis-jenis perbuatan pelanggaran dan
ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun pidana. UU ini memuat sistem
deklaratif (first to use system), yaitu perlindungan hukum hanya diberikan
kepada pemegang/pemakai pertama atas hak cipta. Apabila ada pihak lain yang
mengaku sebagai pihak yang berhak atas hak cipta, maka pemegang/pemakai pertama
harus membuktikan bahwa dia sebagai pemegang pemakai pertama yang berhak atas
hasil ciptaan tersebut. Sistem deklaratif ini tidak mengharus-kan pendaftaran
hak cipta, namun pendaftaran pada pihak yang berwenang (cq Ditjen Hak Kekayaan
Intelektual Depkeh RI) merupakan bentuk perlindungan yang dapat memberikan
kepastian hukum atas suatu hak cipta.
Apakah suatu perbuatan merupakan
pelanggaran hak cipta, harus dapat dipenuhi unsur-unsur yang penting berikut
ini. Pertama, larangan undang-undang. Perbuatan yang dilakukan oleh seorang
pengguna hak cipta dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Kedua, izin dan persetujuan (lisensi). Penggunaan hak cipta dilakukan tanpa
persetujuan dari pemilik atau pemegang izin hak cipta. Ketiga, pembatasan
undang-undang. Penggunaan hak cipta tidak melampaui pada batas-batas ketentuan
yang telah ditetapkan undang-undang. Keempat, jangka waktu. Penggunaan hak
cipta dilakukan dalam jangka waktu perlindungan tertentu yang telah ditetapkan
oleh undang-undang atau berdasarkan pernjanjian tertulis (lisensi).
Perlindungan hukum terhadap hak
cipta merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur-unsur sistem
berikut. Pertama, subyek perlindungan.
Subyek yang dimaksud adalah pihak
pemilik atau pemegang hak cipta, aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan
pelanggar hukum. Kedua, obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua
jenis hak cipta yang diatur dalam undang-undang. Ketiga, pendaftaran
perlindungan. Hak cipta yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan
dibuktikan pula dengan adanya sertifikat pendaftaran, kecuali apabila
undang-undang mengatur lain. Keempat, jangka waktu. Jangka waktu adalah adanya
hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak cipta, yakni selama hidup ditambah
50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kelima, tindakan hukum perlindungan.
Apabila terbukti terjadi pelanggaran hak cipta, maka pelanggar harus dihukum,
baik secara perdata maupun pidana.
Setiap pelanggaran hak cipta akan
merugikan pemilik/pemegangnya dan/atau kepentingan umum/negara. Pelaku
pelanggaran hukum tersebut harus ditindak tegas dan segera memulihkan kerugian
yang diderita oleh pemilik/pemegang hak atau negara.
Penindakan atau pemulihan tersebut
diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002. Penindakan dan pemulihan pelanggaran hak
cipta melalui penegakan hukum secara :
(1) perdata berupa gugatan
(a) ganti kerugian,
(b) penghentian perbuatan
pelanggaran,
(c) penyitaan barang hasil
pelanggaran untuk dimusnahkan.
(2) pidana berupa tuntutan
(a) pidana penjara maksimal 7 tahun
penjara, dan atau
(b) pidana denda maksimum sebesar
Rp. 5 miliar,
(c) perampasan barang yang
digunakan melakukan kejahatan untuk dimusnahkan,
(3) administratif berupa tindakan
(a) pembekuan/pencabutan SIUP,
(b) pembayaran pajak/bea masuk yang tidak
dilunasi,
(c) re-ekspor barang-barang hasil
pelanggaran.
Selama ini, pelanggaran hak cipta
termasuk dalam delik aduan (klachtdefict). Artinya, penyelidikan dan penyidikan
oleh pihak kepolisian bersama instansi terkait atau tuntutan sanksi pidana
dapat dilakukan oleh penuntut umum atas dasar pengaduan dari plhak-pihak yang
dirugikan, baik para pencipta, pemegang izin, warga masyarakat sebagai konsumen
ataupun negara sebagai penenima pajak. Delik aduan ini adalah dalam bentuk
delik aduan mutlak (absolute klachidelict), yakni peristiwa pidana yang hanya
dapat dituntut bila ada pengaduan.
Berlakunya UU No. 19 Tahun 2002,
pelanggaran hak cipta menjadi delik biasa yang dapat diancam pidana bagi siapa
saja yang melanggarnya. Adanya perubahan ini sebagai upaya pemerintah mengajak
masyarakat untuk menghargai dan menghormati HKI mengingat masalah pelanggaran
hak cipta telah menjadi bisnis ilegal yang merugikan para pencipta dan pemasukan
pajak/devisa negara di samping masyarakat internasional menuding Indonesia
sebagai “surga” bagi para pembajak.
Aparat penyidik dalam pelanggaran
hak cipta ditentukan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 dan peraturan
perundang-undangan lain. Dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 8 Tahun 1981 tercantum
dua penyidik yakni pejabat polisi negara Republik Indonesia dan atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu. Mereka bertugas bersama aparat negara tertentu
yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Untuk menyelidiki apakah sudah
terjadi suatu pelanggaran hak cipta, maka Pasal 71 UU No. 19 Tahun 2002
mengatur tentang penyidik yang dapat melakukan penegakan hukum. Menurut
ketentuan pasal tersebut, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
Departemen Kehakiman Republik Indonesia dapat diberikan wewenang khusus sebagai
penyidik seperti dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat 1 b UU No. 8 Tahun 1981, yakni
“pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk bertugas melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak
cipta. Mereka ini dapat bertugas sebagai pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dengan wewenang tertentu.
Penyidik dalam Pasal 71 ayat (2)
mempunyai wewenang melakukan tindakan berupa :
(a) pemeriksaan atas kebenaran
laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang hak cipta,
(b) pemeriksaan terhadap pihak
atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang hak cipta,
(c) meminta keterangan dari pihak
atau badan hukum sehubungan tindak pidana di bidang hak cipta,
(d) pemeriksaan atas pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang hak
cipta,
(e) pemeriksaan di tempat
tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen
lainnya,
(f) melakukan penyitaan bersama
pihak kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang hak cipta, dan
(g) meminta bantuan ahli dalam
rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang hak cipta.
Penyidikan oleh PPNS dilakukan
setelah ada surat perintah tugas penyidikan, yaitu untuk PPNS pada :
(1) tingkat kantor wilayah, surat
perintah diberikan oleh Kepala Departemen Kehakiman setempat. Kewenangan tugas
PPNS tingkat kantor wilayah hanya meliputi wilayah hukum kantor bersangkutan,
dan
(2) tingkat Direktorat Hak Cipta
(nasional), surat perintah diberikan pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual (HKI).
Kewenangan tugas penyidik tingkat
ini meliputi seluruh wilayah Indonesia. Pembagian tugas ini seyogianya dapat
mempercepat penanggulangan pelanggaran hak cipta mengingat era globalisasi
dengan teknologi semakin canggih, maka dunia saat ini tanpa ada tapal batas
yang jelas (borderless world). Selama ini, teknologi baru dengan mudah masuk ke
Indonesia tanpa mampu dilakukan tindakan filterisasi dengan ketat oleh
pemerintah. Pemanfaatan teknologi informasi seperti intemet menjadi salah satu
medium bagi para pelaku kejahatan untuk melakukan pelanggaran hak cipta dengan
sifatnya yang mondial, internasional dan melampaui batas atau kedaulatan suatu
negara. Cross boundary countries kini menjadi motif yang menarik para penjahat
digital.
Dalam melaksanakan tugasnya, PPNS
mempunyai kewajiban dalam empat hal, yaitu :
(1) memberitahukan kepada
Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang dimulainya penyidikan;
(2) memberitahukan kepada
Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang perkembangan penyidikan yang dilakukan;
(3) meminta petunjuk dan bantuan
penyidikan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan kebutuhan, dan
(4) memberitahukan kepada
Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara apabila penyidikan akan
dihentikan karena alasan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
Keempat kewajiban dari PPNS itu
saling terkait dan terukur dalam rangka untuk mengungkapkan suatu pelanggaran
hak cipta di tanah air.
Semua kewajiban di atas bagi PPNS
menjadi dasar untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan penegakan hukum
terhadap setiap pelanggaran hak cipta. Akan tetapi PPNS tidak diberi kewajiban
atau wewenang untuk melakukan penangkapan dan atau penahanan berdasarkan pada Keputusan
Menteri Kehakiman RI No. M. 04. PW. 07. 03 Tahun 1988.
Tujuannya adalah agar tugas PPNS
tidak tumpang tindih dengan tugas penegak hukum kepolisian dalam rangka
penyidikan pelanggaran hak cipta.
Penyitaan barang bukti yang
dilakukan oleh PPNS wajib didasar-kan pada surat izin dari Ketua Pengadilan
Negeri di tempat terjadinya tindak pidana atau di tempat yang banyak ditemukan
barang bukti pelanggaran hak cipta. Permohonan surat izin penyitaan harus
diketahui oleh Kepala Kantor Departemen Kehakiman setempat dan tembusannya
dikirimkan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara.
Berdasarkan ketentuan UU No. 19
Tahun 2002, Penyidik Pejabat Polisi Negara dalam penyidikan hak cipta lebih
diutamakan atau dikedepankan pada penegakan hukum hak cipta, sedangkan PPNS
mempunyai kewenangan menyidik hanya karena lingkup tugas serta tanggung
jawabnya meliputi pada pembinaan terhadap hak cipta. Oleh karena itu,
penyampaian hasil penyidikan oleh Penyidik Pelanggaran Hak Cipta kepada
Penuntut Umum setelah memperoleh petunjuk yang diperlukan harus melalui
Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU No. 8 Tahun
1981.
Perlu diingat, walaupun mempunyai
kewenangan menyidik dan menyita barang bukti, PPNS tidak boleh melakukan
penangkapan dan/atau penahanan, kecuali tertangkap tangan (caught in the act).
Dalam hal ini, PPNS boleh menangkap tersangka tanpa surat perintah selama 1
(satu) hari dan segera menyerahkannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara
yang lebih berwenang. Ketentuan demikian harus ditaati penyidik PPNS dalam
pekedaannya mengusut pelanggaran hak cipta supaya tidak ada tuduhan
“pelanggaran hak asasi manusia” pada hak milik seseorang.
Pelanggaran hak cipta tidak
semata-mata menonjolkan pada hak perdata pencipta saja, juga pada kepentingan
umum dan hak hak asasi orang yang dituduh telah melakukan pelanggaran hukum
terhadap hak cipta.
Adanya peristiwa pelanggaran hak
cipta merupakan realitas sosial yang menjadi masalah bagi hukum perdata, pidana
dan administrasi. Pelanggaran hukum ini menjadi tugas aparat penegak hukum
menanggulanginya bekerja sama dengan instansi terkait mengingat setiap
pelanggaran hak cipta membawa kerugian yang sangat besar dalam pengembangan dan
kemajuan i1mu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra dan secara ekonomis bagi
para pencipta, pemegang ijin, masyarakat konsumen dan pendapatan pajak negara.
Pemberian sanksi hukum bagi para
pelanggar hak cipta merupakan upaya untuk mencegah dan mengurangi meningkatnya
kasus-kasus pelanggaran atas HKI, terutama di Indonesia masih membutuhkan
peningkatan apresiasi masyarakat terhadap HKI. Perbuatan menjiplak, mengkopi,
meniru ataupun meng-gelapkan hasil karya orang lain tanpa izin atau sesuai
prosedur hukum akan tetap menjadi “pekerjaan rumah” dari petugas penegak hukum
dalam melindungi hak-hak para pencipta yang diatur dalam UU Hak Cipta. Akibat
pelanggaran itu, selain merugikan kepentingan para pencipta atau pemegang izin,
juga masyarakat konsumen dan negara dalam penerimaan pajak/devisa.
Pelanggaran hak cipta
dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi (economic crime) dan kejahatan
bisnis (business crime). Di sini amat dibutuhkan fungsionalisasi hukum pidana,
yakni upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja
dan terwujud secara konkret yang melibatkan tiga faktor, yaitu faktor
perundang-undangan, aparat/badan penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat.
Fungsionalisasi hukum pidana didasarkan pada tujuan ekonomi dan penegakan
hukum, yakni untuk mengurangi seminimal mungkin biaya sosial (social cost) yang
merugikan bagi para korban akibat dari pelanggaran hukum tersebut. Robert
Cooter dan Thomas Ulen menegaskan dengan ungkapan, criminal law should minimize
the social cost of crime, which equals the sum of the harm it causes and the
costs of preventing it. Artinya, hukum pidana harus membayar biaya sosial
kejahatan minimal sama jumlahnya dari pelanggaran yang disebabkan pelanggaran
itu dan biaya pencegahannya.
Biaya sosial yang harus dikeluarkan
dalam rangka fungsionalisasi hukum atas setiap pelanggaran hak cipta dapat
berkurangnya apresiasi masyarakat terhadap makna perlindungan hukum mana kala
penegakan hukum vang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak mencapai
sasarannya untuk mengurangi kuantitas dan kualitas pelanggaran hukum terhadap
hak cipta.
Biaya sosial tersebut terutama
akan dirasakan oleh para pencipta, karena merasakan tidak terlindungi
hak-haknya sebagai penemu atau pencipta. Hal ini akan merugikan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra karena para pencipta tidak
bergairah lagi untuk meningkatkan karya ciptanya.
Menurut pendapat saya :
" saya sangat mendukung dengan adanya perundang - undangan hukum tentang hak cipta seseorang karena dengan adanya undang - undang hak cipta ini dapat memberikan perlindungan suatu hasil karya seseorang sehingga dapat dihargai oleh orang lain ..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar